Aku tak sempurna, aku tak
mampu melihat hidupku, aku hanya bisa
dituntun oleh orang lain, aku tak bisa melakukan sesuatu sendiri.
Aku punya dua mata seperti orang pada umumnya,
namun kecelakaan 3 tahun yang lalu mengakibatkan kedua mataku tak berfungsi
lagi, dan karena hal itulah aku berbeda dari orang lain. Butuh kekuatan untuk
aku berdiri tegak kembali, dan tak mudah untuk melakukan itu. Aku hampir saja
membuang hidupku dengan percuma, tak dipungkiri sempat terlintas dipikiranku
untuk mengakhiri hidup ini.
Karena tak ada yang bisa kulakukan tanpa kedua
mataku ( pikirku dulu ), namun DIA…
Yach dia…
Dia memberikan kekuatan itu padaku, dia
membantuku berdiri tegak kembali, meski ia pun sedang mencoba bertahan melawan
penyakit kanker yang telah menggerogoti badannya sejak 5 tahun yang lalu. Dia
adalah Indra sahabatku.
Telah
lama ku rasakan kegelapan ini, namun karena dia, karena dia aku tetap berdiri
dalam kegelapan, dan berharap dia akan membawa cahaya terang untukku. Kadang
aku lelah akan ini semua, namun seandainya aku lebih mengerti Indra pasti lebih
lelah dariku. Kami adalah pasangan sahabat yang tak sempurna, aku buta dan Iin
mempunyai penyakit yang mematikan. Sebelum kebutaan dan penyakit ini, aku dan
Indra mempunyai harapan besar pada dunia, aku berimpian menjadi seorang
penulis, dan Iin ingin menjadi seorang pilot, karena dia hobi dengan
ketinggian. Namun takdir berkata lain, harapan itu pun pupus bersamaan dengan
ketidaksempurnaan ini. Apa yan bisa ku tulis dengan keadaanku yang seperti ini,
dan begitu juga Iin, penyakit itu membuatnya berhenti berharap akan impiannya.
Namun kami tetap saling menyemangati, bahwa dunia tak pernah menutup matanya
untuk penghuninya, dan suatu saat dunia akan tersenyum melihat kelebihan kami
dibalik kekurangan ini.
Telah
lama ku tak melihat wajah Indra lagi, terakhir aku melihatnya saat kita masih
kelas 2 SMP, mungkin sekarang ia telah menjelma menjadi laki-laki yang
diidolakan oleh teman-teman cewek di sekolahnya, mungkin dia tinggi, wajah
keren dan cakep.
Yach mungkin…!
Aku memang tak bisa melihatnya, namun aku bisa
merasakan kehadirannya disetiap hari sepiku.
Meskipun
aku tak melanjutkan study ku, dalam arti aku tak sekolah sama Indra lagi, namun
ia tetap meluangkan waktunya untuk bersamaku. Ia selalu buat aku tersenyum,
sekalipun ia lagi sedih.
Yang kurasakan hari ini hujan sedang turun, aku
hanya mampu memegang jendela kamarku yang dibasahi air hujan. Aku paling senang
melakukan hal itu, namun saat aku menikmatinya tiba-tiba terdengar suara Ibu
memanggilku.
“ Sya, ada Iin tuch, katanya dia mau ajak kamu
ke danau.” ( kata Ibu padaku )
Aku pun langsung tersenyum, karena berada di
danau adalah hal kedua yang aku senangi setelah menikmati hujan dari jendela
kamarku.
“ Serius bu…? “ ( tanyaku senang )
“ Duarius malah ! “ ( terdengar suara yang
kurasakan dari depan pintu kamarku, dan suara itu suara yang sangat ku kenal,
itu suara Indra )
“ Iin…??? “ ( Tanyaku )
“ Ya udha tante, Iin sama Tasya pergi dulu. “ (
Pamit Indra pada Ibu )
“ Iya, kamu jaga Tasya ya In ! “ ( pesan Ibu )
“ Ihh, Ibu apaan sih, memangnya Tasya anak
kecil apa pakai di jaga-jaga…” ( nyeletuk )
Dan aku pun merasa kekuatan dari tanganku, dia
memegangku dan menuntunku berjalan, kadang aku merasa malu padanya, karena aku
hanya membuang waktunya untuk mengurus aku yang buta ini.
Dalam
perjalanan ke danau hujan mulai reda. Di danau ada sebuah rumah pohon, rumah
pohon itu diberikan Indra untukku saat usiaku menginjak 15 tahun, namun
sayangnya aku tak bisa melihat pemberiaan Indra tersebut, tapi Iin dengan sabar
memberitahuku dan memceritakan secara detail setiap sudut dari rumah pohon
tersebut.
Dan
setibanya di danau, Indra ngajak aku naik perahu. Dia kembali menuntunku.
“ Sya, pelanginya udah muncul lho...” ( kata
Indra padaku )
“ Owh... ya... ?
Pasti indah dhe! Seandainya saja aku bisa lihat
pelangi itu, pasti lebih indah.“ ( jawabku sambil meneteskan air mata )
“ Kamu bicara apa sih Sya, mata kamu lebih
indah dari pelangi itu. “ ( Indra coba memujiku )
“ Indah...? mataku...?
Enggak mungkin mataku indah In, enggak ada mata
yang buta itu indah.“ ( merendahkan diri )
“ Tasya, itu hanya pikiran bodoh kamu saja,
justru lebih baik buta dari pada enggak buta kalau matanya dipakai buat hal-hal
yang enggak baik, kan lebih baik buta aja. “ ( jelas Indra )
Indra meletakkan sesuatu di tanganku, dan yang
kurasakan itu... ???
“ Ini apa In... ? “ ( tanyaku )
“ Duch... kasih tau enggak ya...? “
Aku tersenyum dan mencoba menebaknya.
“ Emh... kura-kura ya... ? “
Aku dan Indra telah merawat kura-kura itu sejak
mereka masih kecil, dan mungkin sekarang mereka sudah besar.
Setelah
asyik bermain diatas perahu, Indra ngajak aku naik ke rumah pohon. Selangkah
demi selangkah pun kakiku menginjaki rumah pohon tersebut, dengan dibantu oleh
Iin.
_Sesampainya diatas rumah pohon_
“ Kamu pegang ini dhe Sya... !!! “ ( kata
Indra padaku )
“ Apa ini In ? “ ( tanyaku heran )
Ini kesekian kalinya Indra minta aku pegang
itu, yang kurasakan itu seperti tulisan di batang pohon, tapi aku enggak tau
tulisannya apaan. Aku selalu nanya sama Iin tulisannya apaan, tapi Iin enggak
mau jawab, dia selalu yakin bahwa suatu saat aku bakal lihat sendiri tulisan
itu, justru keyakinannya dia melebihi keyakinanku.
“ Entar kamu bakal tau kok tulisannya apaan,
entar kamu lihat sendiri dhe, aku percaya suatu saat kamu akan tersenyum kalau
lihat ini. Senyuman kamu lihat tulisan ini bakal ngalahin senyuman saat kamu
nikmatin hujan dari jendela kamar kamu. Percaya dhe Sya! “ ( jelas Indra )
“ Idich yakin amat sih…!!!
Iya, keyakinan kamu itu akan terwujud, kalau
aja aku diberi kesempatan buat ngelihat lagi “ ( jawabku )
“ Pasti… !
Kamu pasti bisa lihat ini semua Sya! Dan kamu
tersenyum li… lihat tiap su... sudut rumah pohon ini. “ ( dengan suara
terbata-bata )
Aku
dan Indra pun menghentikan pembicaraan itu, karena hari juga sudah sore, Indra
pun ngajak aku pulang dan keesokan harinya Indra ngajak aku ke danau lagi.
Waktuku selalu kuhabiskan bersamanya, entah sampai kapan semuanya akan begini.
Ibu dan Ayah tak pernah melarangku untuk bersama Iin, karena bagi mereka hanya
Iin yang bisa buat aku kuat seperti sekarang ini.
Dan
hari ini tepat dihari jadiku, Indra ngajak aku ke danau, kami pun naik perahu
itu lagi. Dan tiba-tiba aku merasakan Indra menyematkan sesuatu dijari kananku,
tepatnya dijari manis. Ini adalah pemberian Indra yang kedua untukku dalam
kegelapan yang kurasakan.
“ Ini apa In ? “ ( tanyaku padanya )
“ Ini cincin tanda persahabatan kita Sya.
Yach... buat hadiah ultahnya kamu juga sih, maaf ya aku enggak bisa ngasih kamu
yang mahal-mahal, abisnya duit aku pas-pasan sih... ( ngelucon ), tapi
mudah-mudahan kamu tetap suka ! “
Kamu apaan sih, ngapain nyari yang mahal-mahal,
aku suka kok sama semua pemberiannya
kamu, tapppiii... ? “
“ Tapi kenapa Sya... ? “ ( tanyanya heran
)
“ Emh…
Tapi sayang yah aku enggak bisa lihat
cincinnya, pasti cincin ini bagus dhe. Karena aku tahu semua pilihannya kamu
itu pasti bagus dan indah dhe, ya sama halnya seperti pilihannya kamu yang
milih aku buat jadi sahabatnya kamu…
He… he… he… ( ngelucon )
Owh… ya In aku sennnennggg bangetz! Tinggal
bentar aku bakal bisa lihat kamu, keyakinannya kamu bakal terwujud In. Ya aku
bakal lihat wajah kamu yang buat anak-anak cewek itu histeris lho. ( sambil
tersenyum ) Karena semalem kata Ayah ada orang baik hati yang pengen donorin matanya
buat aku. Aku sennneng banget In, mata ini akan jadi hadiah terindah tahun ini.
Dan kamu bener In keyakinan itu bisa ngalahin semuanya. Entar kalau aku bisa
ngelihat lagi, aku… aku janji dhe ama ka… kamu aku bakal ra… rawat kamu,
ngejagain kamu! ( meneteskan air mata )
In… ? “ ( tanyaku )
Namun
Indra hanya terdiam, dan tiba-tiba aku merasakan ia mencium keningku. ( tanyaku
sedih )
Ka… kamu… kamu enggak seneng yah kalau aku bisa
ngelihat lagi ? “ ( tanyaku dengan nada suara terbata-bata )
Aku mendengar Indra menarik nafasnya, dan aku
pun menghapus air matanya.
“ Hey... aku seneng Sya...
Aku sangattt... sangat bahagia kalau kamu bisa
ngelihat lagi. Entar kamu bisa lihat pelangi, dan entar juga kamu bukan hanya
bisa nikmatin hujan dari jendela kamar tapi kamu juga bisa melihatnya. Dan
kebahagiaan yang sempurna ka... kamu bi... bisa lihat aku, ya kan ? aku seneng
kok Sya ! “ ( jelasnya )
“ Tapi kenapa kamu diem, dan nangis ? “
“ Hey, anak manis tapi jahil...
Diem itu bukan berarti enggak seneng, ya kan...
? “
Dan air mata ini air mata bahagia Sya... “ (
mencoba menghibur )
“ Ya dhe...
Dan kamu tahu In, aku enggak bakal ngelupain
orang yang udah rela matanya didonorin ke aku. Orang yang bener-bener mulia,
aku bakal buat orang itu tersenyum, seperti kamu yang selalu buat aku
tersenyum. “ ( jelasku )
Indra hanya terdiam mendengar ucapanku lalu
memelukku.
“ Pasti orang yang ngedonorin matanya buat kamu
juga seneng, soalnya dia memberikan matanya pada orang yang tepat. “
Yang kurasakan saat itu Indra benar-benar sedih,
dan yang kurasakan ia susah mengatur nafasnya, tapi aku tak tahu apa yang
terjadi, apa mungkin ia tak senang dengan kesembuhanku ini.
Dan
tak sengaja aku memegang wajahnya, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang kental
keluar dari hidungnya, itu seperti darah. Saat itu aku pun langsung panik,
namun Iin meyakinkan ku bahwa keadaannya baik-baik saja. Dan akhirnya aku pun
membawa Indra pulang, aku bersama Ayah dan Ibu serta orangtua Iin membawa Indra
ke rumah sakit.
Dalam perjalanan ke RS, Ayah
memberitahuku bahwa pendonoran mata untukku dimajukan menjadi hari ini, dan
pendonoran itu dilakukan di RS yang sama dengan Indra. Entah apa yang harus ku
rasakan, disatu sisi aku senang dengan penglihatanku kembali, namun disisi lain
ku juga kawatir akan keadaan Indra yang belum kutahu hingga kini. Seandainya
saja aku sudah diberi penglihatan saat ini juga, mungkin aku tak kan sepanik
ini dan sekawatir ini karena bisa melihat Indra, namun sayangnya penglihatanku
masih beberapa waktu lagi.
Dan setibanya di RS aku akan
terpisah ruangan dengan Iin, namun aku menghampirinya terlebih dahulu. Aku
ingin dapat menguatkannya seperti yang dia lakukan untukku.
“ In kita saling mendo’akan yah.
Aku berharap kamu baik-baik aja, dan tetap
bertahan. In kamu ingatkan perjuangan kamu selama 5 tahun ini, aku tahu In itu
enggak gampang, tapi aku yakin kamu bisa melewati itu In “ ( harapku )
Aku berbicara di telinganya, dan kami pun
saling berpegangan.
“ Dan ha... harapku ka... mu bi… bisa li.. hat
air hujan dan pelangi ya Sya. Kamu bisa lihat rumah po... hon, kura-kura dan
pa... paha... tan di batang pohon itu. Amin. ( harapnya )
“ Amin, In aku takut... !!! “ ( Dengan suara
lirih )
“ Jangan takut Sya…
Jangan pernah kamu takut buat menjemput
kebahagiaanmu, Tuhan enggak pernah ninggalin kita Sya, masa’ kamu kalah sama
aku, kamu jangan pernah sia-siain kesempatan ini, aku ber… tahan selama i… ini
Cuma buat kamu, aku nunggu kamu bisa li… lihat aku la... lagi. Udah awh
sedih-sedihnya, keruangan mu gih… ! Entar aku bakal ada disamping kamu. (sambil
tersenyum )
“ Tap… tapi... “
Aku hanya bisa meneteskan air mata saat itu,
entah apa yang kurasakan ini antara senang dan ketakutan menjadi satu pada jiwa
ini. Aku senang dengan penglihatanku yang segera, tapi aku juga takut jikalau
esok hari saat aku telah bisa melihat tapi aku tak bisa melihat senyumnya. Tapi
aku tetap percaya ia pasti kuat, ya dia pasti kuat. Kuat bertahan sejauh ini
keajaiban bagiku, penyakit itu hanya cobaan untuknya.
Seandainya
saja aku bisa menukar penyakitnya dengan kebutaanku ini, biarkan aku yang
menderita penyakit yang mematikan itu, dan aku akan mendonorkan mataku
untuknya. Ya seandainya...
Namun apapun yang terjadi akau yakin dia pasti
kuat, demi impiannya. Dan aku pun saat ini dalam proses operasi. Rasanya... ?
Entah ini rasa apa. Dan beberapa hari
kemudian perban dimataku akan siap dibuka.
Tuhan...
Izinkan aku untuk melihat wajahnya pertama
kali
Tuhan...
Wajahnya, wajahnya yang ku rindukan
Detak jantungnya yang ku rasakan
Kehadirannya disetiap hari-hari sepiku
Kumohon Tuhan
Amin...
_Beberapa hari kemudian_
Perlahan
perban itu pun dibuka, Ayah dan Ibu memegang kedua tanganku.
“ Siap Sya ? “ ( tanya dokter padaku )
Namun aku hanya terdiam dan mengangguk
menandakan bahwa aku siap menyambut hari baruku.
“ Dalam hitungan ketiga buka matanya ya Sya !”
( kata dokter kembali )
“ satu… dua… dan………..... ti...ga! “ ( hitung
dokter )
Aku pun membuka mata perlahan, yang awalnya
gelap, kabur, samar-samar, dan cahaya
itu pun datang. Ya terang…
Tuhan…
Indahnya senyuman itu
Inikah anugerah terindah yang Kau berikan
selama ini padaku… ?
Dulu aku hanya bisa merasakannya,
Dan sekarang semua sempurna…
Aku bisa melihatnya juga
Terima kasih Tuhan
Wajah itu…
Namun…
Raganya dibantu oleh sebuah kursi roda
Dan mengapa yang ku lihat dan kurasakan
Kosong dimatanya Tuhan…
( hatiku )
“ Ibu… Ayah… Ta… Tasya bisa… bisa ngeliat lagi…
! Terima kasih ya Tuhan. “ ( meneteskan air mata )
Ibu dan Ayah pun dengan segera memelukku. Namun
mengapa hati ini rasanya… rasanya aneh, ragu padaku… apakah aku harus senang
atau sedih… ?
“ Hey… Sya ! “ ( sapanya padaku )
Dia tersenyum. Tapi, tapi aku takut...
Aku masih heran matanya kosong, tak ada
nyawanya terlihat dimatanya. Aku pun memberanikan diri bertanya.
“ I... I... Iin... ? “
“ Ya, ini aku...
“ In... ? “ ( aku menyebut namanya sambil
mencoba mengayunkan tanganku di hadapannya, namun tak sama sekali ia refleks,
aku Cuma enggak mau mata yang ada padaku ini... ? lebih baik aku tak mampu
melihat selamanya, jika kesempurnaannya dia harus... harus...
Ketakutanku semakin mendalam. Air mata ini pun
tak kuat ku tahan.
“ Ayah... Ibu... tante dan om apa yang
terjadi... ? “ ( tanyaku heran )
Namun mereka hanya terdiam melihatku, tak ada
seorang pun dari mereka yang menjawabku.
“ Seharusnya kamu seneng Sya, kamu enggak boleh
sedih, kamu akan mulai dari awal lagi. “ ( hanya ia yang berbicara saat itu )
Dan terlihat darah dari hidungnya terus keluar,
wajahnya pun semakin pucat, dan... ia pun langsung dibawa ke ruang ICU, dan
semua orang berlari meninggalkanku, aku pun meninggalkan kasur dan ikut menuju
ruang ICU. Saat itu yang terlihat keadaannya benar-benar kritis, aku hanya
menangis, dan menangis, berharap mata baru ini tak membawa kesedihan untukku
dan dia, namun...
“ Kamu tahu Sya, hadiah berharga yang diberikan
Indra buat kamu diulang tahunnya kamu tahun ini ? “ ( tanya Ayah padaku )
Ketika aku mendengar pertanyaan Ayah itu,
tiba-tiba...
“ Dug... dug... dug... “ jantungku berdetak
kuat, semakin tak tenang hati ini. Sebelum Ayah melanjutkan ucapannya,
tiba-tiba saja dokter memanggilku dan memintaku untuk menemui Indra. Aku
melihatnya jelas, sangat jelas. Ini adalah tatapanku padanya setelah sekian
lama ku tak pernah menatapnya lagi. Dia memegang tanganku dan mengatakan...
“ Aku senang mengenalmu, sempat melihatmu indah
bagiku, berada disisi mu keajaiban untukku, tujuan hidupku membuatmu tersenyum
dihari jadimu, meski kita tak sempurna aku ingin menyayangimu dengan cara yang
sempurna. Jaga mataku baik-baik ya Sya ! “
Aku pun sudah tak bisa menahan semuanya, aku
langsung memeluknya ketika ia mengucapkan kalimat terakhir itu, aku pun mencium
keningnya, tak sanggup bagiku melihat ini semua. Yang kurasakan raganya telah
tak berdaya, lemas... dan seketika monitor disamping kananku menunjukkan garis
lurus, jiwanya pun telah melayang. Dan itu ciuman keningku yang pertama dan
terakhir kalinya disaat penglihatanku pulih.
“ Mata itu ? mata itu, hadiah berharga
untuk kamu Sya. “ ( Ayah melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong tadi )
Aku benar-benar tak percaya, semulia inikah Kau
ciptakan sahabat untukku Tuhan ditengah raganya yang sedang mencoba bertahan,
ia masih sempat memberikan organnya padaku, penyakit itu tak mudah untuk
dilawan, Kau telah memberikan penyakit yang tak biasa untuknya, dan ia harus
kehilangan pula matanya, maafkan aku jika menambah penderitaannya. Dia
benar-benar telah membuatku tersenyum, namun aku tak bisa melakukan apa-apa
untuknya.
Dan
sehari setelah hari jadiku, tepatnya hari ini semua orang berpakaian hitam, dan
ia perlahan dimasukkan dalam lubang itu, perlahan juga ia ditutupi oleh tanah,
yang tertinggal hanyalah papan yang bertuliskan namanya ditempat peristirahatan
terakhirnya yang diberi bunga-bunga yang indah, semua orang menangis, semua
orang mendo’akan kepergiaannya, termasuk aku.
Dan
setelah pemakaman usai, aku langsung ke danau melihat kura-kura. Dan perlahan
aku naik ke rumah pohon, aku melihat setiap sudut yang pernah ia ceritakan
padaku, ternyata disana tersimpan memori indah, setiap ia bersamaku ia
mengabadikan itu semua dalam bentuk foto, dan itu semua ia lakukan tanpa ku
sadari. Tatapanku pun langsung tertuju pada batang besar dari rumah pohon
tersebut, aku memegang batang pohon itu sambil menutup kedua mataku, dan
perlahan aku membuka mata dan tersenyum melihat cincin yang ada dijari tanganku
sama tulisannya dengan tulisan dibatang pohon itu, yaitu I & T. Hujan pun
turun menemaniku di rumah pohon tersebut, indah saat itu aku pun kembali
tersenyum lihat ini semua, dan tatapanku tertuju pada meja disudut dekat
jendela, aku membuka kotak biru yang ada diatas meja itu, dan ada selembar
kertas didalamnya.
WAKTU YANG KUNANTI........
Semula ku fikir kita tak bisa seakrab ini,
ternyata kau memberikan warna baru dalam hari hariku,
namun aku tak pernah melihat mu tersenyum semenjak kecelakaan itu, aku tahu tak
mudah bagi mu bertahan dalam kegelapan, tapi tenang ada aku disini yang
menemanimu, aku ingin dapat melihatmu tersenyum kembali. Dan penyakit itu telah
lama bersarang dibadanku, karenamulah aku kuat bertahan, aku ingin menemani
hari-harimu yang kau bilang sepi, aku ingin merubah kesepian itu, tapi sekuat
apa pun ku bertahan tetap saja pada akhirnya aku harus meninggalkan mu, sobat.
Mungkin aku bisa memberikan mata ini untuk mu, agar kau tak kesepian, meski aku
tak bersama mu lagi, dan agar kau mampu menggapai impian mu menjadi seorang
penulis, jika kau sukses nanti tulislah bahwa dunia ini indah karena senyuman,
aku menunggu waktu yang tepat untuk ku berikan mata ini padamu, dan mungkin
sekarang tepat dihari jadimulah waktu yang ku tunggu-tunggu itu datang, aku
senang jika dapat membuatmu tersenyum hari ini. Sya, kamu anugerah terindah
yang Tuhan berikan padaku, meski aku tak bisa melihatmu disaat penglihatanmu
kembali, tapi aku senang karena aku selalu kamu jaga, melalui mata ini aku
pengen tetap barengan ama kamu Tasya. Kumohon kau tersenyum saat membaca surat
ini, aku tak ingin ada kesedihan lagi, janji ya Sya kamu enggak bakal nangis
lagi. Selam tinggal sobat, aku akan berada di tempat yang seharusnya ku berada. Kaulah obat bagi
penyakitku. Terima kasih atas senyumanmu.
Sahabatmu,
Indra
Aku tersenyum membaca
surat terakhir dari Iin, aku dengan segera menghapus air mataku, aku tak ingin
ia kecewa disana.
Ya Tuhan...
Ia membuatku
tersenyum indah disaat hari jadiku
Tak peduli
penderitaannya
5 tahun ia
bertahan untuk kuat
Tak sebanding
denganku yang selalu mengeluh selama 3 tahun ini
Penyakitnya yang
mematikan membuat ia memberikan mata ini padaku
Terima kasih Tuhan
Tempatkanlah ia di
sisi Mu yang paling indah
Seindah mata
ini......
_beberapa bulan
kemudian_
Ayah dan Ibu menawarkan padaku untuk
mengikuti ajang mencari bakat dalam bernyanyi dan bermain musik, agar aku tak
larut dalam kesedihan, aku pun setuju, dan tepat tanggal 22 November 2011 aku
menampilkan kemampuanku. Untuk hari ini aku berpaling dari menulis. Hari ini
bertepatan dengan hari jadinya Iin, seandainya ia ada disampingku aku pasti
lebih bahagia. Dengan perlahan ku gerakkan jari-jemariku diatas not-not piono
itu, dan kumulai bernyanyi.
“ Lagu ini ku persembahkan
untuk sahabatku di surga, dan untuk mata terindah yang kau beri. “
“ Datanglah sayang
Dan biarkan ku
berbaring
Dipelukanmu walau
untuk sekejap
Usaplah dahiku
Dan kan ku katakan
semua
Bilaku lelah tetaplah
disini
Jangan tinggalkan aku
sendiri
Bilaku marah biarkan
ku bersandar
Jangan kau coba untuk
menghindar
Rasakan resahku
Dan buat aku
tersenyum
Dengan canda tawamu
Walau untuk sekejap
Karma hanya engkaulah
Yang mampu redakan
aku
Karma hanya dirimulah
satu-satunya untukku
Dan pastikan kita slalu
bersama
Karma dirimulah yang
sanggup mengerti aku
Dalam susah ataupun
senang
Dapatkah engkau
mempertahankanku
Dan mampukah engkau
slalu menjagaku “
Aku pun dengan sekejap
meneteskan air mata, tak kuat aku menahan kenyataan ini, aku ingin melanjutkan semua yang
pernah tertunda, dan tak ingin membuatnya sedih diatas sana.
Kau telah mengajariku untuk bertahan hidup…
Kau telah mengajariku bagaimana cara
bersyukur...
Kau juga yang telah memperlihatkan pelangi
yang indah padaku...
Dan kau...
Yang telah buat aku tersenyum…
Namun, takdir berkata lain…
Pengajaranmu kini tinggal kenangan bagiku…
Aku belum sempat membalas pengajaranmu itu
Karena maut telah lebih dahulu
memisahkan kita...
Namun, mata ini akan ku jaga untuk mu...
Entah bagaimana aku harus menyikapi
kepergian mu
Ditengah hari yang seharusnya sempurna
untukku…
Selesai